Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Biografi Singkat Sayuti Melik: Pengetik Naskah Proklamasi dan Pejuang Bangsa

Biografi Singkat Sayuti Melik Pengetik Naskah Proklamasi dan Pejuang Bangsa

Matauli.com - Halo teman-teman! Kali ini kita akan membahas tentang salah satu tokoh yang sangat berjasa dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, yaitu Sayuti Melik. Sebagai seorang aktivis, jurnalis, dan politikus, namanya tak pernah lekang oleh waktu, terutama berkat perannya sebagai pengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Yuk, kita lihat lebih dalam perjalanan hidup Sayuti Melik yang penuh perjuangan dan pengorbanan demi kemerdekaan bangsa.


Awal Kehidupan Sayuti Melik

Sayuti Melik, atau nama aslinya Mohamad Ibnu Sayuti, lahir pada 25 November 1908 di Kadisobo, Rejodani, Sleman, Yogyakarta. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang sarat dengan semangat kebangsaan. Ayahnya, Abdul Muin atau Partoprawito, adalah seorang lurah yang terkenal kritis terhadap kebijakan kolonial Belanda, terutama terkait penanaman tembakau yang merugikan petani lokal. Dari ayahnya inilah, Sayuti mulai terinspirasi untuk melawan ketidakadilan.

Saat masih muda, Sayuti bersekolah di Sekolah Ongko Loro, yang setara dengan SD pada masa itu, dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta. Selama di Solo, ia juga sempat belajar di Sekolah Guru, namun kemudian ditangkap oleh Belanda karena aktivitas politiknya yang dianggap berbahaya. Penangkapannya menandakan awal dari perjalanan panjangnya sebagai seorang aktivis pergerakan nasional.


Awal Keterlibatan di Dunia Pergerakan

Semangat nasionalisme Sayuti semakin tumbuh saat ia berkenalan dengan tokoh-tokoh besar pergerakan nasional, termasuk K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Sayuti juga banyak belajar dari Haji Mohammad Misbach, seorang muslim revolusioner yang tulisannya kritis terhadap pemerintah kolonial. Dari sini, Sayuti semakin mendalami isu-isu kebangsaan dan mulai menulis artikel-artikel yang mengkritik penjajahan.

Sayuti Melik sering keluar-masuk penjara karena tulisan dan aktivitas politiknya yang dianggap membahayakan Belanda. Pada tahun 1926, ia bahkan dituding terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan diasingkan ke Boven Digoel, Papua, selama beberapa tahun. Tempat ini dikenal sebagai lokasi pengasingan bagi para aktivis politik yang dianggap memberontak terhadap Belanda.


Perjalanan Hidup yang Penuh Perjuangan

Selepas dari pengasingan pada tahun 1933, Sayuti Melik tidak pernah berhenti melawan penjajah. Ia pergi merantau ke Singapura pada tahun 1936, namun lagi-lagi ditangkap oleh pemerintah Inggris yang curiga akan keterlibatannya dalam gerakan bawah tanah. Sayuti Melik terus bergerak, tak pernah diam dalam menghadapi berbagai tantangan demi kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun 1937, Sayuti kembali ke Indonesia dan menikahi Soerastri Karma (S.K.) Trimurti, seorang aktivis perempuan yang juga berprofesi sebagai jurnalis. Keduanya aktif menerbitkan surat kabar pergerakan bernama Pesat di Semarang. Pasangan ini tak luput dari tekanan, karena aktivitas jurnalistik mereka dianggap membahayakan pemerintah Jepang yang saat itu menduduki Indonesia.


Peran di Proklamasi Kemerdekaan

Ketika Jepang hampir kalah dalam Perang Dunia II, Sayuti Melik bergabung dengan kelompok pemuda yang dikenal sebagai Gerakan Menteng 31. Kelompok ini berperan penting dalam mendesak Sukarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Pada tanggal 16 Agustus 1945, Sayuti Melik dan para pemuda lainnya bahkan “mengamankan” Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok dengan tujuan mendesak mereka agar segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa harus menunggu janji-janji Jepang.

Setelah Sukarno dan Hatta setuju, malam harinya mereka kembali ke Jakarta dan mulai menyusun naskah proklamasi. Di sinilah peran besar Sayuti Melik muncul. Ia dipercaya untuk mengetik naskah Proklamasi yang telah dirumuskan oleh Sukarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo. Peristiwa ini menjadi salah satu momen paling bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.


Kiprah Sayuti Melik Setelah Proklamasi

Tidak berhenti di situ, Sayuti Melik juga aktif dalam berbagai kegiatan politik setelah proklamasi. Ia menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan turut berperan dalam pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang kemudian menjadi cikal bakal lembaga legislatif di Indonesia.

Namun, masa perjuangan Sayuti Melik tidak selalu berjalan mulus. Pada tahun 1946, ia ditangkap oleh pemerintah Indonesia dengan tuduhan terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946, yang dianggap sebagai upaya makar pertama setelah kemerdekaan. Meski begitu, tuduhan tersebut tidak terbukti, dan Sayuti akhirnya dibebaskan.


Baca juga: Mengenang Pandu Kertawiguna: Pejuang Pers dan Aktivis Pemuda Pendiri Kantor Berita Antara


Menentang Nasakom dan Demokrasi Terpimpin

Meskipun dikenal dekat dengan Sukarno, Sayuti Melik tidak selalu sejalan dengan pemikiran politik presiden pertama Indonesia tersebut. Salah satu perbedaan pendapat yang mencolok adalah soal konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) yang diusung oleh Sukarno. Sayuti dengan tegas menentang ide ini, bahkan mengusulkan agar kata "komunisme" diganti dengan "sosialisme" sehingga konsep tersebut berubah menjadi "Nasalos" (Nasionalisme, Agama, Sosialisme). Sayuti juga menolak gagasan agar Sukarno menjadi presiden seumur hidup, meskipun kedekatan mereka tetap terjaga hingga akhir masa pemerintahan Sukarno.

Pada era Demokrasi Terpimpin, Sayuti Melik tidak sepenuhnya mendukung arah kebijakan yang diambil oleh Sukarno. Kendati demikian, ia tetap berperan penting dalam menyuarakan pendapatnya melalui tulisan-tulisan yang kritis terhadap pemerintahan saat itu. Meski sering berbeda pandangan, Sayuti tidak pernah sampai mengalami tindakan keras dari rezim Orde Lama.


Peran di Era Orde Baru

Ketika Orde Lama runtuh dan Orde Baru mulai berkuasa, Sayuti Melik kembali mendapatkan peran penting di panggung politik. Pemerintahan baru di bawah pimpinan Soeharto bahkan memberikan tempat bagi Sayuti untuk menjadi anggota DPR/MPR dari Fraksi Golkar setelah Pemilu 1971 dan 1977. Sayuti Melik terus berkontribusi dalam dunia politik hingga akhir hayatnya.

Sayuti Melik meninggal dunia pada 27 Februari 1989 di Jakarta, dalam usia 80 tahun. Warisannya sebagai salah satu tokoh penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia tetap dikenang, terutama perannya dalam proses proklamasi kemerdekaan yang tak tergantikan.


Kesimpulan

Perjuangan Sayuti Melik tidak hanya terbatas pada masa-masa sebelum kemerdekaan, tetapi juga setelah Indonesia merdeka. Dari seorang aktivis muda yang sering keluar-masuk penjara hingga menjadi pengetik naskah proklamasi dan anggota DPR, kontribusi Sayuti Melik dalam membangun bangsa ini sangatlah besar. Semangat dan dedikasinya untuk Indonesia patut menjadi teladan bagi kita semua.

Jadi, teman-teman, mengenang Sayuti Melik bukan hanya soal menghargai jasa seorang pahlawan, tapi juga meneladani semangat juang yang tak pernah padam. Semoga kita bisa mengambil pelajaran berharga dari perjalanan hidup tokoh yang satu ini.